Jumat, 22 April 2011

HUKUM ASAL SEGALA SESUATU ITU SUCI

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :
• Setiap yg halal itu suci
• Setiap yg najis itu haram
• Tidaklah tiap yg haram itu najis

Menyambung pembicaraan kami dlm edisi terdahulu tentang pembahasan najis yg sepanjang pengetahuan kami kenajisan disepakati oleh ulama mk dlm edisi kali ini kami akan memaparkan apa-apa yg sepanjang pengetahuan kami diperselisihkan masalah kenajisan disertai dgn penjelasan mana yg rajih dari perselisihan itu apakah itu najis atau bukan najis wallahu al muwaffiq

Air liur anjing
Telah datang riwayat dlm shahihain dan selain kedua dari kitab-kitab hadits menyebutkan hadits Abu Hurairah radliallahu anhu bahwasa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencucibejana tadi sebanyak tujuh kali”.}
Dalam riwayat Muslim ada tambahan :
“cucian yg pertama dicampur dgn tanah”
Pencucian yg disebutkan dlm hadits di atas menunjukkan najis air liur anjing dan pendapat inilah yg rajih sebagaimana yg dipegangi oleh Abu Hanifah Ats Tsauri satu riwayat dari Ahmad Ibnu Hazm Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yg lainnya. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syaukani di dlm kitab-kitabnya
Sebagaimana yg kami sebutkan di atas bahwa di dlm permasalahan najis yg kami bahas di sini ada perselisihan mk demikian juga masalah air liur anjing ini. Di sana ada pula pendapat yg lain. Sebagian ahlul ilmu berpendapat seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dgn berdalil hadits yg telah disebutkan di atas. Mereka mengatakan : “Karena air liur itu keluar dari mulut anjing mk seluruh tubuh lbh utama lagi utk dihukumi kenajisannya”.
Dan yg lain mengatakan air liur anjing bukan najis adapun perintah mencuci adl sekedar perkara ta`bbudiyah bukan krn kenajisannya. Ini merupakan pendapat yg dipegangi Imam Malik dan yg lainnya.

Mani
Ada dua pendapat dlm masalah mani ini. Pendapat pertama mengatakan najis sedang pendapat kedua mengatakan yg sebalik mani itu suci. Yang kuat dlm hal ini adl pendapat yg mengatakan suci mani dan ini dipegangi oleh Imam Ahmad Syafi`i dan selain keduanya. Dan pendapat inilah yg rajih. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat mani itu suci”.
Mereka berdalil dgn hadits Aisyah radliallahu anha yg hanya mengerik bekas mani yg telah mengering pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa mencucinya. . Walaupun didapatkan pula riwayat Aisyah radliallahu anha mencuci bekas mani yg menempel pada pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
Namun kedua riwayat ini tdk saling bertentangan . Hal ini dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah : “Hadits yg menunjukkan dicuci bekas mani yg menempel pada pakaian dan hadits yg menunjukkan dikerik mani tersebut tidaklah saling bertentangan krn bisa dikumpulkan antara kedua dgn jelas bagi yg berpendapat suci mani. Hadits tentang mencuci dibawa kepada hukum istihbab dlm rangka kebersihan bukan krn kewajiban. Ini merupakan cara yg ditempuh oleh Imam Syafi`i Ahmad dan ashabul hadits “.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah: “Seandai mani itu najis niscaya tdk cukup menghilangkan dgn sekedar mengerik”.

Darah
Yang kita maksudkan dlm pembahasan ini adl selain darah haid dan nifas yg disepakati kenajisan sebagaimana telah kami paparkan dlm pembahasaan terdahulu. Memang dlm perkara ini juga terdapat perselisihan namun yg rajih/kuat darah itu suci. Ada baik kita menengok pembahasan yg dipaparkan Syaikh Albani rahimahullah: ” juga menyelisihi hadits Al Anshari yg dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. mk ia mencabut anak panah yg menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dgn tiga anak panah namun ia tetap melanjutkan shalat dlm keadaan darah terus mengucur dari tubuh sebagaimana yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu`allaq dan secara maushul oleh Imam Ahmad dan selain dishahihkan dlm “Shahih Sunan Abu Daud” . Hadits ini dihukumi marfu` krn mustahil beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tdk memperhatikan hal ini.
Seandai darah yg banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam akan menerangkan krn tdk boleh menunda keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tdk mengetahui perbuatan shahabat tersebut mk tdk ada sesuatupun di langit maupun di bumi yg tersembunyi dari Allah ta`ala. Seandai darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi- sebagaimana hal ini jelas tdk tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Bukhari sebagaimana pemaparan beliau terhadap sebagian atsar yg mu`allaq yg diperjelas oleh Ibnu Hajar dlm Fathul Bari dan ini merupakan pendapat Ibnu Hazm”.
Kemudian beliau berkata: “Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih bisa ditinjau sebagai berikut:
Pertama: Menyamakan darah haid dgn darah yg lain seperti darah manusia dan darah dari hewan yg dimakan daging adl kesalahan yg jelas sekali dari dua sisi ;
1. Tidak ada dalil yg menunjukkan hal tersebut dari Al Qur’an dan As Sunnah sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil
2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yg datang di dlm As Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dlm hadits Al Anshari yg berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dlm riwayat yg shahih dari Ibnu Mas`ud radliallahu anhu dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotoran lalu diserukan iqamah mk ia pun pergi menunaikan shalat dan tdk berwudhu lagi.
Uqbah meriwayatkan dari Abi Musa Al Asy`ari: “Aku tdk peduli seandai aku menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dgn kotoran dan darahnya. Lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air”. Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dlaif
Kemudian beliau melanjutkan :
Kedua: Membedakan antara darah yg sedikit dgn darah yg banyak walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam mk tdk ada dalil yg menunjukkan bahkan hadits Al Anshari membatalkan pendapat ini.

Orang kafir
Ibnu Hazm dan orang2 dari kalangan ahlu dhahir berpegang dgn apa yg dipahami dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Sesungguh orang islam itu tdk najis”
Untuk menyatakan orang kafir itu najis tubuh dan mereka perkuat pendapat ini dgn firman Allah ta`ala dlm surat At Taubah ayat 28 :
“Hanyalah orang2 musyrik itu najis”.
Namun jumhur ulama membantah pendapat ini dgn menyatakan bahwa yg dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adl seorang muslim itu suci anggota tubuh krn ia terbiasa menjauhkan diri dari najis adapun orang musyrik tdk menjaga diri dari najis. Sedang yg dimaksud dgn ayat di atas adl orang musyrik itu najis dlm hal keyakinan dan dlm kekotorannya.
Juga dgn dalil bahwasa Allah Ta`ala dlm Al Qur’an membolehkan kaum muslimin menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yg menyetubuhi istri tentu tdk bisa lepas dari bersentuhan dgn keringat istri bersamaan dgn itu tdk diwajibkan atas si suami utk bersuci krn bersentuhan dgn istri namun mandi wajib krn jima`. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu dari tempat air minum wanita musyrikah dan diikat Tsumamah bin Atsal di masjid ketika masih musyrik dan lain sebagainya.
Dan pendapat jumhur inilah yg rajih

Khamar
Khamar adl segala sesuatu yg memabukkan baik terbuat dari anggur kurma gandum atau yg selainnya. Khamar ini haram hukum sebagaimana ditunjukkan dlm Al Qur’an As Sunnah dan ijma` kaum muslimin. Lalu apakah khamar ini najis ?
Jumhur ulama berpandangan khamar ini najis berdalil ayat Allah subhanahuwa ta`ala :
“Wahai orang2 yg beriman sesungguh khamar judi berkorban utk berhala dan mengundi nasib dgn panah adl rijs dari perbuatan setan”.
Mereka memaknakan rijs di sini dgn najis namun yg benar dari pendapat yg ada khamar bukanlah najis dan ini merupakan pendapat Rabi`ah Ar Ra’yi Al Laits Al Muzani Syaukani Syaikh Albani Syaikh Ibnu Utsaimin dan selain mereka.
Adapun yg dimakud dgn ayat Allah dlm surat Al Maidah di atas kata Imam Syaukani rahimahullah : “Tatkala khamar di sini digandengkan penyebutan dgn الأنصاب dan الأزلام mk kata yg menyertai ini memalingkan makna rijs kepada selain najis yg syar`i”.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menerangkan tentang makna ayat dlm surat Al Maidah ini bahwa yg dimaksud najis di sini adl najis maknawi bukan najis hissiyah dari dua sisi :
1. Khamar disertakan dgn الأنصاب الأزلام dan الميسر dan najis di sini secara maknawi
2. Sesungguh rijs di sini dikaitkan dgn firman-Nya : } sehingga makna rijs amali bukan rijs `aini yg dengan semua perkara ini dihukumi najis.

Muntah manusia
Yang rajih muntah manusia itu tdk najis krn tdk ada dalil yg menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yg mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Imam Syaukani rahimahullah dlm kitab Sailul Jaraar . Beliau menyatakan: “Aku telah menyebutkan padamu di awal kitab Thaharah bahwa segala sesuatu itu hukum asal adl suci dan tdk bisa berpindah dari hukum asal ini kecuali dalil yg memindahkan benar dan pantas utk dijadikan argumen lbh kuat ataupun seimbang. Bila kita dapatkan dalil tersebut mk tentu baik sekali namun kalau kita tdk mendapatkan wajib bagi kita utk tawaqquf di tempat yg kita dilarang utk berbicara tentangnya. Kemudian kita katakan kepada orang yg menganggap muntah itu najis bahwasa dgn anggapan ini berarti :
- Allah subhanahu wa ta`ala telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
- Muntah yg dikatakan najis itu harus dicuci
- Tercegah keabsahan shalat dgn ada muntah itu
Sehingga kita meminta kepada utk mendatangkan dalil akan hal ini.
Kalau orang ini membawakan dalil dgn hadits Ammar :
“Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing tahi muntah darah dan mani”.
Maka kami jawab hadits ini tdk kokoh dari sisi shahih ataupun dari sisi hasan bahkan tdk pula sampai kepada derajat yg paling rendah utk bisa dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa ditetapkan oleh hadits Ammar ini sementara hadits tersebut tdk pantas utk dijadikan penetapan terhadap hukum yg paling rendah sekalipun atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah.
Kalau orang ini berkata lagi : “Telah datang hadits bahwasa muntah itu membatalkan wudhu “.
Maka kami jawab : “Apakah di sana ada keterangan bahwasa tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yg najis”.
Kalau kamu katakan iya mk kamu tdk akan mendapatkan jalan utk mengatakan demikian .
Kalau kamu mengatakan bahwa telah berkata sebagian ahlul furu` bahwasa muntah itu satu cabang dari kenajisan.
Maka kami jawab apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yg bisa menguatkan pendapat terhadap seseorang ?
Kalau kamu katakan iya berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yg tdk diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin. Kalau kamu katakan tdk mk kami nyatakan : kenapa kamu berdalil dgn perkara yg tdk digunakan oleh seseorang utk berdalil terhadap orang lain
wallahu a’lam

penulis Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari
Sumber: www.asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...